Pengawasan BBM Mendesak

Author : Humas | Saturday, September 10, 2022 08:07 WIB | Kompas.id -

Potret area SPBU Tangkil di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, yang jadi lokasi percobaan pembakaran oleh pria berinisial WO, Kamis (8/9/2022). Polisi memastikan, aksi terduga pelaku itu tidak terkait dengan kenaikan harga bahan bakar minyak.

Potret area SPBU Tangkil di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, yang jadi lokasi percobaan pembakaran oleh pria berinisial WO, Kamis (8/9/2022). Polisi memastikan, aksi terduga pelaku itu tidak terkait dengan kenaikan harga bahan bakar minyak.

JAKARTA, KOMPAS — Setelah kenaikan harga bahan bakar minyak atau BBM jenis pertalite dan biosolar yang disubsidi, pengaturan penerimanya juga mesti dibenahi mengingat selama ini tidak tepat sasaran. Terbitnya regulasi yang mengatur kelayakan penerima BBM bersubsidi dinanti. Selain itu, pengawasan distribusi BBM bersubsidi mesti ditingkatkan.

Ekonom yang juga Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Malang Nazaruddin Malik, dalam webinar terkait sistem pengawasan BBM bersubsidi yang digelar Partai Perindo, Jumat (9/9/2022), mengatakan, penyesuaian harga BBM bersubsidi memang pilihan sulit dan memunculkan pro dan kontra. Namun, bagaimanapun keputusan itu telah diambil pemerintah.

”Yang paling penting, perlu ada koordinasi dan sinergi lintas instansi, termasuk pelibatan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam pengawasan distribusi dan konsumsi BBM. (Itu) akan mendorong kesadaran masyarakat untuk menggunakan BBM bersubsidi lebih baik. Juga merevisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 yang belum mengatur konsumsi pertalite secara khusus,” ujar Malik.

Baca juga: Terbiasa Menikmati Murahnya Harga BBM Bersubsidi

Mengenai pengendalian, imbuh Malik, ada beberapa skema, seperti yang telah mengemuka akhir-akhir ini. Misalnya, dengan pembatasan jenis kendaraan berdasarkan kapasitas mesin (cc). Opsi lainnya, BBM bersubsidi hanya bisa dikonsumsi kendaraan roda dua, transportasi publik, serta roda empat tertentu, seperti untuk kegiatan ekonomi produktif.

”Sementara yang perlu diantisipasi pemerintah ialah meredam laju inflasi secara masif dan taktis. Diharapkan efek bantuan langsung tunai maupun aneka skema pengalihan alokasi subsidi BBM bisa sampai ke tangan masyarakat yang berhak,” ujarnya.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/71wL32Pi43YEaFiZrdJVuH37vz8=/1024x916/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F09%2F09%2Fca1018d8-a2e8-40ae-a909-3c9faaac1876_jpg.jpg

Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), Saleh Abdurrahman, di acara yang sama, menuturkan, dengan regulasi yang berlaku saat ini, untuk biosolar sebenarnya sudah diatur meski belum dari sisi kelayakan konsumen. Misalnya, mobil pribadi mewah pun masih bisa diisi solar, tetapi dibatasi maksimal 60 liter per hari, sedangkan kendaraan roda enam maksimal sebanyak 200 liter per hari.

”Ini yang sedang kita koreksi dalam revisi Perpres No 191/2014. Ke depan, truk-truk tronton atau kendaraan dengan roda 6 hingga 10 tidak mudah lagi dapatkan solar subsidi, kecuali mungkin yang mengangkut sembako,” ucap Saleh.

Begitu juga pada pertalite. Menurut Saleh, pihaknya bekerja sama dengan sejumlah pihak dalam menyusun skenario terkait dengan pengendalian. Untuk saat ini, pengaturan berdasarkan besaran cc mobil yang dianggap yang paling tepat untuk penyaluran BBM bersubsidi menjadi lebih tepat sasaran.

Pasalnya, saat ini mobil mewah pun bisa diisi dengan pertalite meski direkomendasikan untuk diisi BBM dengan kualitas lebih tinggi, seperti pertamax. ”Ini yang kita atur agar konsumen terarah sambil melihat ke depan, apa hal terbaik yang bisa kita lakukan. Selebihnya, kita tunggu revisi perpresnya (terbit), tentunya,” ujar Saleh.

Suasana Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Vivo di Kota Bekasi, Jawa Barat, Senin (5/9/2022).

Suasana Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Vivo di Kota Bekasi, Jawa Barat, Senin (5/9/2022).

Tak tepat sasaran

Sebelumnya, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR, Kamis (8/9/), Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati merinci profil konsumen BBM bersubsidi. Rincian itu berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susesnas) 2020.

Pada solar, desil 1-4 (kelompok termiskin) mengonsumsi hanya 20 persen, sedangkan sisanya, 80 persen, dikonsumsi desil 5-10 (menengah ke atas). Kendaraan darat jadi kategori dengan konsumsi terbesar dengan 74 persen. Itu mencakup angkutan barang logistik 60 persen, truk tambang/perkebunan 13 persen, bus penumpang 9,6 persen, mobil barang roda empat 9,8 persen, dan mobil penumpang 6,7 persen.

Sambil menunggu revisi Perpres No 191/2014 terbit, Pertamina mendaftarkan kendaraan roda empat untuk didata dalam sistem terintegrasi. ”Maka, ketika regulasi keluar, misalnya yang berhak hanya (mobil dengan) cc tertentu, bisa diatur dari command center Pertamina. Dari QR code kendaraan itu terdeteksi. Jika tak berhak, BBM dari dispenser tak keluar,” katanya.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif menuturkan, pihaknya bekerja sama dengan semua instansi agar penyaluran BBM bersubsidi tepat sasaran. Kebutuhan kuota pertalite dan biosolar yang meningkat menjadi alarm untuk bisa mengamankan anggaran negara agar program pada tahun-tahun berikutnya dapat dijalankan lebih mudah.

Akan tetapi, belum ada kepastian waktu mengenai terbitnya revisi Perpres No 191/2014. Kepala BPH Migas Erika Retnowati, saat ditemui di Kompleks Parlemen, Kamis, mengatakan, revisi perpres tersebut dalam pembahasan di tingkat kementerian. Ia tidak bisa memastikan kapan revisi perpres tersebut terbit.

Berdasar pengamatan BPH Migas, penyalahgunaan BBM bersubsidi masih terjadi karena ada disparitas harga dengan harga keekonomian. Pada akhirnya, orang-orang menimbun. Itu dilakukan dengan membeli BBM bersubsidi di SPBU, kemudian dijual dengan harga yang lebih tinggi. Hal itu ditemui di sejumlah tempat.

Harvested from: https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2022/09/09/regulasi-dan-peningkatan-pengawasan-semakin-mendesak
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: