Korupsi dan Ketidakbahagiaan Kolektif

Author : Administrator | Rabu, 11 Mei 2016 07:54 WIB
KOMPAS/AGUS SUSANTOWarga melintas di depan poster berisi kritikan terhadap perilaku korupsi di kolong jalan kereta api Manggarai, Jakarta Selatan, Minggu (16/12/2012). Kritikan terhadap pelaku koruptor terus disuarakan oleh aktivis untuk mendorong tindakan lebih tegas dalam pemberantasan korupsi dan penegakan hukum lainnya.

 

Oleh: Antony Lee

Di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi di Jakarta, beberapa wartawan sempat bergunjing soal tahanan KPK yang kerap menebar senyum saat diwawancara.

Salah satu pertanyaan yang sempat mengemuka ialah apakah senyuman itu pertanda mereka sebenarnya tetap bahagia kendati ketahuan korupsi.

Jawabannya macam-macam. Ada yang menyampaikan mereka bahagia-bahagia saja karena hukumannya bakal tak terlalu berat.

Setelah bebas, mereka tetap bisa menikmati hidupnya dari harta hasil korupsi yang aman tersimpan. Namun, ada juga yang berpendapat mereka sebenarnya tidak bahagia.

"Itu senyum karena mereka stres saja paling," kata wartawati surat kabar yang bertugas meliput di KPK.

Jawaban dari celetukan pertanyaan itu tentu hanya si koruptor yang benar-benar tahu. Namun, bagaimana jika pertanyaan itu diubah, bukan dilihat dari perspektif pelaku, tetapi korban? Apakah ulah para koruptor itu membuat orang-orang Indonesia menjadi tidak bahagia?

Belum lama ini, Laporan Kebahagiaan Dunia (World Happiness Report) tahun 2016 menempatkan Indonesia sebagai negara yang tingkat kebahagiaannya sedang-sedang saja. Indonesia menduduki peringkat ke-79 dari 157 negara.

Posisi itu turun lima tingkat dari laporan tahun sebelumnya. Dalam laporan yang diluncurkan Maret 2016 itu, di kawasan Asia Tenggara, Indonesia masih berada di bawah Singapura (22), Thailand (33), dan Malaysia (47).

Sementara posisi 10 besar didominasi negara Nordik, seperti Denmark, Eslandia, Swedia, Norwegia, dan Finlandia.

Laporan Kebahagiaan Dunia disusun peneliti independen atas dukungan United Nations Sustainable Development Solutions Network (UNSDSN).

Dalam menyusun peringkat kebahagiaan negara, para peneliti itu menggunakan delapan indikator, yakni produk domestik bruto per kapita, data seri tingkat harapan hidup, dukungan sosial, kebebasan untuk menentukan pilihan hidup, kedermawanan, persepsi korupsi, perasaan positif, dan perasaan negatif.

Laporan yang menguantifikasi tingkat kebahagiaan kolektif negara ini pertama kali diluncurkan tahun 2012 sebagai alternatif dari indikator pembangunan yang terlalu menitikberatkan pada aspek ekonomi.

Nah, kembali ke soal kaitan antara korupsi dan kebahagiaan, beberapa riset mulai menggali korelasi di antara kedua variabel itu. Memang, belum sesignifikan kajian-kajian dampak korupsi terhadap perekonomian atau terhadap tingkat kemiskinan.

Secara anekdotikal, korelasi antara kedua hal itu juga bisa dilihat jika data Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang disusun Transparency International disandingkan dengan peringkat Laporan Kebahagiaan Dunia.

Negara-negara yang menduduki posisi teratas dalam IPK, yakni negara-negara yang relatif bebas dari korupsi, juga mendo- minasi posisi atas Laporan Kebahagiaan Dunia.

Dalam peringkat 20 teratas IPK tahun 2015 dan Laporan Kebahagiaan Dunia 2016, ada 16 negara yang masuk daftar teratas di kedua indeks itu. Denmark jadi "juara" dengan predikat negeri paling bersih korupsi dan negeri paling bahagia.

Jika dilihat dari 20 posisi terbawah, ada sembilan negara yang IPK-nya terburuk dan masuk pula dalam jajaran negara paling tidak bahagia, misalnya Afganistan, Angola, dan Sudan Selatan. Indonesia masuk jajaran papan tengah. Dalam Laporan Kebahagiaan Dunia, Indonesia mendapat peringkat ke-79, sedangkan IPK Indonesia ada di urutan ke-88 dari 168 negara.

Dari data itu, secara spekulatif bisa dikatakan, semakin rendah tingkat korupsi di sebuah negara, semakin tinggi tingkat kebahagiaan warga negaranya.

Beberapa penelitian juga menunjukkan hal serupa. Penelitian Carol Graham yang dituangkan dalam How Friends, Freedom, Crime, and Corruption Affect Happiness (2009) menunjukkan, menjadi korban korupsi setahun terakhir berkorelasi terhadap tingkat kebahagiaan yang rendah.

Leon dan kawan-kawan dalam artikelnya, Valuing Social Cost of Corruption Using Subjective Well Being Data and the Technique of Vignettes (2013), menyebut, korupsi bisa memberi dampak pada tingkat kebahagiaan dan kepuasan orang-orang sehingga menimbulkan biaya sosial.

Dampak tidak langsung

Pertanyaan lanjutannya tentu saja, apa yang membuat korupsi bisa menimbulkan ketidakbahagiaan? Sebelum mengeksplorasi jawaban atas pertanyaan itu, perlu diingat ada banyak faktor selain korupsi yang bisa berkontribusi pada kebahagiaan dan ketidakbahagiaan.

Dalam konteks Indonesia, beberapa aktivis anti korupsi yang dimintai pendapat soal korelasi korupsi dan kebahagiaan menyampaikan ada dua dampak, yakni dampak langsung dan dampak sistemik.

"Kalau Anda membuat SIM enggak perlu membayar calo, enak enggak? Kalau paspor hilang, lalu harus mengurus sendiri dengan simpel, enak enggak? Kalau semua urusan bisa dilakukan dengan simpel tanpa harus jadi korban (petty corruption), semua orang akan bahagia," kata aktivis Perempuan Indonesia Antikorupsi, Sita Supomo.

Mendengar jawaban Sita, tiba-tiba saya teringat pengalaman seorang teman yang melanjutkan pendidikan di Swedia.

Dua jam sebelum ia bertolak dari Stockholm, Swedia, menuju Helsinki, Finlandia, menggunakan kapal laut, tasnya yang berisi paspor dan kamera hilang dicuri di restoran cepat saji di pusat kota.

Ia sudah kebingungan dan khawatir perjalanan sepekannya ke beberapa negara di Laut Baltik bakal gagal.

Di tengah kebingungan, ia menelepon polisi. Tak sampai 10 menit, dua polisi bermobil datang, menanyakan kronologi kejadian, lalu mengajak teman itu ke kantor polisi. Petugas itu membuatkan laporan kehilangan paspor tak sampai 10 menit.

Surat itu dijadikan bukti untuk boarding ke kapal laut. Prosesnya cepat dan ia tak perlu keluar uang "administrasi". Seorang teman yang mendampingi bahkan sempat minta polisi itu mengantar mereka kembali.

"Di luar banyak taksi," respons polisi itu sambil senyum-senyum.

Selain dampak langsung, peneliti Indonesia Corruption Watch, Febri Hendri, menyampaikan, korupsi juga punya dampak sistemik yang secara tidak langsung berpengaruh pada kebahagiaan warga negara sebuah bangsa.

Di negara-negara yang relatif bebas korupsi, ketimpangan ekonomi cenderung rendah karena semua orang punya kesempatan sama mendapat manfaat pembangunan.

"Korupsi juga membuat pelayanan publik menjadi buruk. Kelas menengah ke bawah cenderung dapat pelayanan buruk sehingga menjadi tidak bahagia," kata Febri.

Rasionalisasinya tentu saja, korupsi minim berarti semakin sedikit uang negara masuk kantong pejabat sehingga lebih banyak uang bisa disalurkan untuk pelayanan publik dan program jaminan sosial masyarakat.

Dengan begitu, kehadiran negara menjadi lebih terasa oleh warga negaranya. Namun, tentu saja, menjadi bahagia atau tidak bahagia juga pilihan kolektif sebuah bangsa. Nah, Anda pilih yang mana?

Sumber: http://nasional.kompas.com/
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: