Oposisi Mati Muda

Author : Humas | Rabu, 18 Mei 2016 00:03 WIB | Suara Merdeka - Suara Merdeka

“Ketika itu banyak yang berharap KMP akan menjadi kekuatan yang mampu mengontrol pemerintah, meskipun dalam sistem demokrasi Indonesia tidak dikenal oposisi.”

KEPUTUSAN Munaslub Partai Golkar di Bali untuk keluar dari KMP (Koalisi Merah Putih) sebenarnya bukan sesuatu yang mengejutkan. Begitu terpilih sebagai ketua umum, Setya Novanto langsung menyatakan partainya menjadi pendukung pemerintah.

Tidak ada yang istimewa dari sikap Golkar, karena partai itu terlahir sebagai partai pendukung pemerintah, sejak zaman Orde Baru sampai era kepemimpinan Presiden SBY. Ketika elit partai tersebut berusaha untuk mengubah pakem menjadi partai oposisi yang berseberangan dengan pemerintah, timbullah gejolak, baik internal maupun eksternal.

Secara internal muncul penentangan, terutama dari kelompok yang merasa tidak nyaman berada di luar pemerintahan, sampai akhirnya muncul pengurus Golkar tandingan pimpinan Agung Laksono. Secara eksternal pun sikap Golkar menjadi oposisi ini membuat lawan politiknya ketakutan, karena kekuatan partai tersebut di parlemen cukup besar, 91 kursi di DPR, menduduki tempat kedua di bawah PDIP yang memperoleh 109 kursi.

Selain kekuatan di parlemen, Golkar memiliki kader yang kaya pengalaman dalam bidang politik. Setelah Pemilu 2014 sebenarnya politik Indonesia sudah memunculkan kekuatan partai oposisi sebagai perlawanan terhadap partai pendukung pemerintah.

KMP didirikan sebagai kelanjutan pilpres yang berbuntut pada kegagalan kelompok ini mengantar Prabowo Subianto sebagai presiden. Lawannya adalah Koalisi Indonesia Hebat (KIH) terdiri dari PDIP, PKB, Nasdem, Hanura dan PKP Indonesia, yang berhasil mengusung Jokowi sebagai presiden.

Secara kuantitas politik, KMP lebih kuat dibanding KIH, karena jumlah anggotanya di parlemen lebih banyak sehingga akan menjadi pengganjal pemerintah dalam membuat kebijakan terutama yang harus mendapat persetujuan DPR. Kekalahan dalam pilpres dibalas telak dalam pemilihan pimpinan DPR/MPR dengan segala kelengkapannnya, bahkan dalam pimpinan DPD pun KMP unggul.

Ketika itu banyak yang berharap KMP akan menjadi kekuatan yang mampu mengontrol pemerintah, meskipun dalam sistem demokrasi Indonesia tidak dikenal oposisi. Demokrasi Indonesia akan semarak dengan sikap pihak koalisi yang siap mengkritisi setiap kebijakan pemerintah.

Tapi harapan itu pupus di tengah jalan, oposisi mati muda sebelum berkembang sebagai kekuatan demokrasi. Ironisnya kematian KMPbukan karena dikalahkan oleh KIH, lawannya atau oleh pemerintah, tapi justru dimatikan sendiri oleh anggotanya.

Adakah ketua PAN, salah satu anggota KMP, Zulkifli Hasan yang kali pertama menganggap KMP sudah tidak ada saat dia menemui presiden Jokowi menyatakan bahwa partai mendukung pemerintah. Sejak itu kekuatan KMP sudah mulai rapuh – kalau tidak hilang sama sekali – karena anggotanya sudah mulai tidak jenak dan ingin segera menyeberang sebagai partai pendukung pemerintah.

Pengurus Ganda

PAN adalah partai yang meninggalkan rekan koalisinya dengan mulus, karena tidak ada perlawanan di internal, tapi tidak dengan Partai Golkar dan PPP. Keduanya harus bergelut dalam konflik berkepanjangan sampai memunculkan kepengurusan ganda. Dalam kondisi konflik, para elit Golkar lebih cepat mengambil sikap untuk segera rujuk, meskipun harus melalui proses hukum sampai batas tertinggi.

Sedangkan PPP sejak kepengurusannya berpindah tangan, sudah menyatakan mendukung pemerintah, meskipun masih ada yang tidak terima dan berusaha menempuh jalur hukum. Ada yang menganggap adanya campur tangan eksternal dalam konflik partai anggota KMP tersebut, tapi sebenarnya tidak, karena mereka punya kepentingan untuk mengamankan diri.

Kasus para politisi yang ditangkap KPK setidaknya menjadi isyarat sekaligus ancaman terhadap para penentang pemerintah tersebut. Meskipun secara politis dukungan kepada pemerintah agak lemah, tapi pemerintah memiliki kekuatan yang bisa digunakan untuk menghadapi lawannya.

Setidaknya pemerintah Jokowi tidak memiliki catatan kasus baik saat ini maupun masa lalu yang biasanya dijadikan sebagai sasaran tembak para penentangnya. Sebaliknya, partai-partai tersebut memiliki catatan, terutama beberapa kadernya yang terlibat korupsi. Inilah kartu truf pemerintah dalam melawan pihak yang berseberangan.

Begitu banyaknya kartu itu sehingga bisa dikeluarkan kapan dibutuhkan. Sebagian kartu itu sudah dikeluarkan, sebagian lagi masih disimpan untuk menunggu momen yang tepat bila ada yang berusaha untuk berani kepada pemerintah. Begitu hebatnya dampak kartu tersebut sampai ada yang langsung bertekuk lutut meskipun kartu itu belum dikeluarkan.

Kader yang kritis di parlemen disingkirkan karena dikhawatirkan akan menjadi bumerang bagi partainya. Menghilangkan satu kader lebih baik dibanding kehilangan kepentingan politik yang lebih besar. Di antara anggota KMP, sampai saat ini hanya Gerindra yang tidak dilanda kemelut.

Prabowo sebagai pemimpin Gerindra sekaligus petinggi KMP, tampak tabah menghadapi manuver rekan politik yang mulai meninggalkannya. Sampai saat ini belum jelas sikap Prabowo setelah ditinggal temantemannya itu, tapi yang jelas kondisinya sudah berubah drastis.

Pemerintah yang sempat khawatir kekuatannya digerogoti pihak oposisi, sekarang sudah mulai percaya diri. Lawan-lawannya sudah menyerah sebelum berhadapan dalam peperangan yang sesungguhnya.

Mungkin Prabowo dan Gerindra bisa menjadi potret partai oposisi yang sesungguhnya, tetap berada di luar pemerintahan dan tidak memiliki celah untuk diserang oleh lawannya. Ini sekaligus pelajaran bagi partai lain bila ingin menjadi oposisi, setidaknya harus tidak ada celah yang bisa menjadi sasaran tembak lawannya.

— Husnun N Djuraid, dosen Universitas Muhammadiyah Malang

Sumber: http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/oposisi-mati-muda/
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared:

Kategori

Berita Terpopuler