KADO UNTUK MUHAMMADIYAH

Author : Humas | Friday, March 11, 2016 12:20 WIB | Suara Islam - Suara Islam

KADO UNTUK MUHAMMADIYAH

 

 

Di Muktamar Muhammadiyah yang ke 47, yang akan diselenggarakan di Makassar beberapa waktu yang lalu, usia Muhammadiyah sudah mendekati satu abad, tepatnya 99 tahun menurut hitungan Masehi dan 101 tahun menurut hitungan hijriah. Muhammadiyah didirikan KH Ahmad Dahlan pada 8 Zulhijah 1330 atau 18 November 1912.

Muhammadiyah bukanlah sebuah organisasi yang asing bagi saya. Meski tak pernah berkecimpung dalam struktural Muhammadiyah, tetapi secara kultural, Muhammadiyah menjadi bagian penting bagi perjalanan dan pengembaraan intelektual dan akademik yang pernah saya tempuh. Karena kebetulan, pada tahun 2003 sampai 2007, saya mengambil program sarjana pada prodi Ilmu Pemerintahan di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

Bagi teman-teman yang pernah mengenyam pendidikan sarjana di UMM, pasti ingat bahwa disana ada sebuah mata kuliah wajib yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa, yakni AIK (Agama Islam dan Kemuhammadiyahan). Selain itu, ayah saya adalah alumni Sosiologi Agama pada Program Pascasarjana UMM. Dengan begitu, dari sanalah pengetahuan dan “rasa”  kemuhammadiyahan pada diri saya terbentuk.   

Kembali ke muktamar Muhammadiyah, seabad bisa dipahami sebagai periode abad kedua untuk Muhammadiyah. Suatu periode yang diharapkan bisa melampaui periode-periode sebelumnya yang telah melewati beragam dinamika zaman yang penuh perjuangan, baik di era perjuangan kemerdekaan pada masa kolonial, era setelah kemerdekaan pada masa Orde Lama dan Orde Baru, maupun era reformasi hingga kini. Fase terakhir ini bisa dibilang sebagai fase paling menentukan masa depan Muhammadiyah.   

Atas dasar itu, saya berharap agar dalam menghadapi pergantian abad menuju fase baru ini, Muhammadiyah diharapkan untuk merumuskan ulang orientasi dakwah dan tajdid yang telah menjadi fokus gerakannya selama ini. Dengan demikian, Muhammadiyah akan mampu melintasi zaman dengan penuh kesiapan dan rasa percaya diri untuk menghadirkan risalah Islam sebagai rahmatan lil-alamin.  

Dalam konteks dakwah misalnya, aktivis Muhammadiyah saya kira harus membaca ulang hasil penelitian James L. Peacock (1986). Penelitian Peacock menyimpulkan bahwa Muhammadiyah merupakan gerakan keagamaan yang berorientasi untuk memurnikan ajaran Islam. Karena itu, Muhammadiyah memainkan peran yang penting sebagai gerakan purifikasi di bidang akidah dan ibadah. Kecenderungan dakwah untuk melakukan purifikasi agama juga disadari kalangan insider Muhammadiyah seperti almarhum Moeslim Abdurrahman (Kang Muslim).   

Bahkan, Kang Moeslim tidak segan melakukan otokritik. Dalam pandangan Kang Muslim, dakwah Muhammadiyah dianggap kurang berempati terhadap seni dan budaya lokal. Padahal, semestinya seni dan budaya lokal termasuk dalam wilayah muamalah duniawiah. Perspektif Muhammadiyah terhadap seni dan budaya juga sangat tegas, yakni ibahah (boleh) sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Tetapi, selalu ada kecenderungan di kalangan aktivis Muhammadiyah untuk menafikan seni dan budaya lokal. Karena itulah, Kuntowijoyo (2001) menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan kebudayaan tanpa kebudayaan. Kredo Muhammadiyah untuk kembali kepada Alquran dan sunah serta kehati-hatiannya dalam menyikapi budaya kadang-kadang terdengar seperti gerakan anti kebudayaan.   Terkait dengan harapan agar orientasi dakwah persyarikatan bergeser dari purifikasi ibadah ke purifikasi sosial, Muhammadiyah telah banyak melangkah. Materi dakwah Muhammadiyah tidak hanya berkaitan dengan persoalan akidah dan ibadah. Dakwah Muhammadiyah kini juga merambah berbagai bidang, seperti politik, ekonomi, kesehatan, dan pelayanan sosial.   

Dalam buku bertajuk “SATU ABAD MUHAMMADIYAH” yang diterbitkan oleh Paramadina dan LSAF (2010), Dawam Rahardjo melancarkan kritik kepada Muhammadiyah, paling tidak pada dua hal. Yakni, misi praksis Muhammadiyah dan misi teologisnya. Secara praksis, Muhammadiyah menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan. Di usianya yang seabad ini, Muhammadiyah tercatat memiliki belasan ribu sekolah TK-SMA, 167 perguruan tinggi, ratusan panti sosial, dan ribuan amal usaha lainnya, termasuk yang berkaitan dengan pemberdayaan ekonomi rakyat di berbagai daerah.   

Namun, menurut Dawam, tidak ada suatu konsep pendidikan distingtif di Muhammadiyah. Tidak ada konsep mengenai sistem pendidikan yang dikatakan sebagai konsep yang dianut oleh Muhammadiyah. Yang ada hanya wujud fisik atau suatu proyek sosial biasa yang dilakukan oleh banyak organisasi keagamaan dan Muhammadiyah salah satu di antaranya. Bahkan, Muhammadiyah hanyalah mengikuti, jika tidak boleh dibilang meniru, kegiatan-kegiatan yang sebelumnya dilakukan oleh misionaris Kristen.   

Dalam kritiknya itu, Dawam ingin menunjukkan bahwa konsep dan metodologi pendidikan yang selama ini dikembangkan Muhammadiyah salah satunya hanya dimotivasi untuk menandingi gerakan misionaris Kristen dalam mendirikan sekolah-sekolah umum yang berbasis klasikal. Artinya, yang dikembangkan Muhammadiyah tidak benar-benar murni milik Muhammadiyah sendiri, baik secara konseptual maupun metodologis. Muhammadiyah masih belum melakukan pembaruan sistem pendidikan yang integral sehingga pendidikan Islam masih bersifat dualitas antara pendidikan agama yang tradisional dan ilmu pengetahuan umum.   

Secara teologis, menurut Dawam, Muhammadiyah mengalami konservatisisme yang akut, meski sejak awal organisasi ini menginjakkan kakinya pada pembaruan Muhammad Abduh. Tidak ada perhatian dari kalangan Muhammadiyah terhadap literatur-literatur para pemikir progresif-liberal kontemporer, misalnya, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abi Zaid, Abid Al-Jabiri, Mohamad Arkuon, dan Ashghar Ali Engineer. Hal itu menunjukkan betapa Muhammadiyah sudah mengalami krisis pemikiran progresif-liberal atau krisis epistemologis. Sejauh ini Muhammadiyah hanya mengembangkan metode ''bayani'' yang bertumpu pada kekuatan teks hingga akhirnya meninggalkan konteksnya.   

Semboyan yang kerap didengungkan Muhammadiyah, ar-Rujû' ila al-Qur'ân wa as-Sunnah, kembali kepada Alquran dan sunah, telah menjadikan mereka kaum literalis atau tekstualis. Muhammadiyah lupa bahwa kembali pada ajaran Alquran dan sunah juga memiliki makna liberalnya, yaitu dengan cara menafsir kembali bunyi teks dengan tetap memperhatikan kebutuhan zaman. Hanya dengan cara demikian, Islam yang dikembangkan Muhammadiyah melalui konsep dakwah dan tajdidnya akan mendapat simpati publik dan sesuai dengan semangat khitah 1912 sebagai organisasi pembaruan.     A

khirnya, layaknya tema yang dipilih pada muktamar kali ini “Gerakan Pencerahan Menuju Indonesia Berkemajuan”, mudah-mudahan eksistensi Muhammadiyah mampu mengantarkan Indonesia pada garis terdepan. -

Harvested from: http://www.siperubahan.com/
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: