Konstruksi Sosial Peran Politik Perempuan di Indonesia

Author : Humas | Friday, May 26, 2023 09:58 WIB | Siedoo. -

Photo of Konstruksi Sosial Peran Politik Perempuan di Indonesia

Oleh:Amalia Irfani Mahasiswa Doktoral Sosiologi UMM

Tulisan singkat ini merupakan bentuk aktualisasi keprihatinan penulis pada peran perempuan yang belum sesuai dengan harapan. Jika undang-undang saja memberikan kesempatan dan ruang (legitimasi) agar perempuan tampil di panggung politik. Pertanyaannya mengapa ruang tersebut sulit terisi, apakah karena perempuan republik ini yang belum mampu atau karena masih tabu perempuan untuk bisa tampil secara sosial ?.

Penulis mengamati banyak perempuan cerdas yang memiliki kualitas mumpuni. Mereka pun bagian dari perubahan baik di masyarakat. Ada yang berprofesi sebagai pendidik, pedagang, dan banyak pula hanya sebagai ibu rumah tangga. Walaupun demikian, status yang tidak tampak secara sosial tidak membuat mereka surut berbuat kebaikan. Tanpa diekspose, tidak ada liputan media tetapi dikomunitas, perempuan-perempuan tersebut dianggap pahlawan. Mereka luar biasa.

Peran Politik Perempuan

Keberadaan perempuan di republik ini masih dianggap sebagai kaum kelas dua yang harus dilindungi. Budaya patriarki masih sangat kuat melekat, yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama mendominasi peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial, dan penguasaan properti. Karena lekatnya budaya tersebut, maka ruang dan kesempatan tampil (izin) dari laki-laki sulit didapatkan perempuan. Sulitnya mendapatkan ruang tersebut tidak saja pada lingkungan keluarga tetapi juga lingkungan sosial saat perempuan mulai masuk ke ranah politik.

Perlakuan berbeda didapatkan perempuan karena memiliki kekerabatan politik atau perempuan public figure. Kedua perempuan dengan status ini dapat dengan mudah masuk ke panggung politik, dan memperoleh kepercayaan masyarakat karena status sosial. Walaupun mungkin banyak diantara perempuan tersebut tidak memiliki kemampuan, kredibilitas, pengalaman bahkan pendidikan yang harusnya menjadi ukuran dan penilaian pemilihan untuk duduk di parlemen dan sejenisnya mewakili hak kaumnya.

Fakta diatas menurut penulis juga harus dapat dijadikan rujukan perempuan-perempuan republik ini dalam memilih. Cantik dan terkenal harusnya tidak menjadi patokan dalam memilih atau modal sosial tampil ke publik, yang terpenting adalah memiliki kepekaan, kepedulian dan kemampuan analisis dalam melihat berbagai fenomena masyarakat yang tidak statis, selain keberanian menyampaikan aspirasi. Siapapun perempuan yang memilih jalan hidup di dunia politik, maka wajib baginya mengedukasi diri agar tetap bertujuan. Sebab sangat penting perempuan berpolitik memiliki ilmu agar tidak sebagai pelengkap keterwakilan perempuan, maka perlu dukungan semua pihak agar perempuan yang tampil di lembaga pemilihan umum kabupaten, daerah, provinsi bahkan pusat adalah perempuan-perempuan dengan genre sesuai fashionnya. Mereka berpolitik karena panggilan hati, karena basic dan pendidikan yang sesuai. Maka, perlu bersama kita konstruksi cara berpikir masyarakat agar tidak tumpang tindih, agar tidak salah kaprah. Perempuan berpolitik bukan karena harus sejajar hak dan kewajiban sama semua hal dengan laki-laki, tetapi kesetaraan dalam mendapatkan hak sesuai porsi gender.

Meng-konstruksi Peran Politik Perempuan

Konstruksi sosial bermakna ada tahapan tertentu yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan. Jika kenyataan/keadaan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, maka perlu dilakukan perubahan dengan juga merubah tatanan yang mungkin tidak tepat bahkan keliru. Hal tersebut adalah dinamika yang terus berkembang dan membutuhkan kajian lapangan, dan mengkonstruksi kembali kebijakan atau budaya di masyarakat merupakan sesuatu yang perlu dilakukan jika tujuan yang menjadi harapan bersama tidak tercapai. Kajian tersebut disampaikan oleh Ketua Program Studi S2 dan S3 Sosiologi Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), pada Kuliah Pakar yang dengan tema "Teori Konstruksi Sosial", Rabu (24/05), dengan narasumber Iwan Kuswandi, Ketua STKIP Sumenep yang juga alumni Doktoral UMM Program Studi Pendidikan Agama Islam.

Iwan Kuswandi menggarisbawahi bahwa setidaknya ada tiga tahapan yang memungkinkan terbentuknya konstruksi sosial. Tahapan tersebut adalah eksternalisasi, objektifikasi, dan internalisasi. Teori Berger ini menurutnya berlangsung melalui proses sosial budaya, tindakan dan interaksi sosial masyarakat.

Pendapat tersebut jika dikaitkan dengan realitas keterlibatan perempuan dalam kancah politik tanah air adalah kebutuhan mendesak sebab mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Partisipasi politik perempuan akan mempengaruhi proses perumusan kebijakan, yang bermakna membangun di segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. (*)

Harvested from: suarapemredkalbar.com/read/opini/26052023/konstruksi-sosial-peran-politik-perempuan-di-indonesia
Shared:

Comment

Add New Comment


characters left

CAPTCHA Image


Shared: