Dr. Sholahuddin Al-Fatih, SH., MH. Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (Foto : Istimewa) |
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Indonesia memunculkan diskusi menarik tentang mekanisme dua putaran. Hal itu juga dirasakan oleh dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Dr. Sholahuddin Al-Fatih, SH., MH. Ia menjelaskan bahwa aturan ini memiliki dasar hukum yang jelas dan spesifik untuk daerah-daerah tertentu seperti Jakarta, Aceh, Papua, dan Papua Barat. Untuk Jakarta, mekanisme dua putaran diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ), sedangkan untuk Aceh, Papua, dan Papua Barat, ketentuan ini diatur dalam undang-undang Pilkada sebelumnya.
“Syarat utama putaran kedua adalah jika tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50% + 1 pada putaran pertama. Selain itu, aturan ini hanya berlaku di daerah dengan status khusus. Daerah lain, seperti Malang atau Surabaya, tidak menerapkan sistem ini karena bukan wilayah khusus,” jelasnya.
Baca juga : Ratusan Siswa SMA Bersaing di Medscape UMM
Jakarta menjadi salah satu daerah yang konsisten melaksanakan dua putaran jika jumlah calon lebih dari dua, dan tidak ada pasangan calon yang mencapai suara mayoritas mutlak. Hal ini menurutnya, untuk memastikan legitimasi pemimpin di daerah dengan status khusus. “Daerah khusus memiliki bobot tanggung jawab lebih besar, sehingga diperlukan legitimasi lebih kuat dari pemilihnya,” tambahnya.
Empat daerah yang menjalankan sistem dua putaran, yaitu Jakarta, Aceh, Papua, dan Papua Barat, memiliki keistimewaan yang membedakannya dari daerah lain. Status ini didasarkan pada kebutuhan untuk menjaga stabilitas politik dan legitimasi pemerintah daerah. “Jakarta, misalnya, memiliki aturan yang berbeda karena merupakan Daerah Khusus dan pusat pemerintahan. Begitu pula dengan Aceh, Papua, dan Papua Barat yang memiliki status Daerah Istimewa dan atau Otonomi Khusus,” jelasnya.
Sementara itu, daerah lain tidak memerlukan dua putaran karena kepala daerah bisa terpilih dengan suara terbanyak meskipun kurang dari 50%. “Di daerah non-khusus, seperti Malang, tidak ada aturan untuk putaran kedua. Di sana, demokrasi cukup fleksibel karena tidak ada keharusan mencapai suara mayoritas absolut,” tambahnya.
Dengan sistem ini, Pilkada dua putaran diharapkan tidak hanya mencerminkan kehendak rakyat, tetapi juga mampu menjaga prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Menurutnya, Pilkada adalah bagian dari demokrasi yang mengedepankan suara rakyat. Mekanisme dua putaran hanya diterapkan di daerah khusus untuk memastikan legitimasi kuat, sementara di daerah lain, sistem yang lebih sederhana sudah cukup memadai.
Dari sisi pelaksanaan, Pilkada dua putaran memerlukan anggaran lebih besar karena melibatkan pencetakan ulang surat suara, pengadaan logistik baru, dan kampanye tambahan. “Secara teknis, dua putaran ini tergolong biaya tinggi. Namun, pemerintah telah mengantisipasi hal ini dengan menunjuk Pj (Penjabat) untuk menjalankan pemerintahan hingga kepala daerah yang pasti terpilih,” ujarnya.
Baca juga : Tim PGSD UMM Implementasikan Cerita Bergambar di Bangkok
Ia menambahkan bahwa beban anggaran yang besar juga menjadi tantangan. Anggaran memang menjadi perhatian utama, tetapi ini adalah konsekuensi demokrasi yang menuntut legitimasi tinggi. Pemerintah harus mengalokasikan dana lebih untuk menyukseskan proses tersebut.
Selain anggaran, partisipasi masyarakat juga menjadi sorotan. Pilkada dua putaran, menurutnya, justru bisa menjadi ajang pembelajaran demokrasi yang baik. “Saya rasa masyarakat tidak terlalu terbebani. Sebaliknya, momen ini bisa menjadi kesempatan untuk meningkatkan partisipasi pemilih. Bahkan, sektor ekonomi lokal, seperti hotel dan restoran, mendapat keuntungan dari pergerakan warga selama Pilkada,” ungkapnya. (*/wil)